Undang-Undang Migas Tidak Sesuai Dengan Prinsip Sehingga Tidak Perlu Dipertahankan

  • 10 Agustus 2015
  • 5772

Undang-Undang Migas yang sudah beberapa kali diajukan judicial review dan diputus oleh MK, menurut Dr. Anang Sulistyono, SH.,MH mahasiswa doktor Fakultas Hukum (FH) UNTAG Surabaya mengindikasikan sebagai produk legislatif yang tidak sesuai dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sehingga tidak selayaknya dipertahankan lagi.

Salah satu lembaga yang dibentuk di era reformasi adalah Mahkamah Konstitusi (MK). MK merupakan salah satu institusi peradilan atau pilar penegakan hukum yang mengemban amanat konstitusi untuk mengawalnya dengan cara melaksanakan kewenangan atau kewajiban yang digariskannya. Diantara kewenangan yang digariskan konstitusi adalah diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

“ Bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Salah satu undang-undang yang diuji adalah UU Migas,” kata Anang saat memaparkan hasil disertasinya, di ruang Meeting Room 1 Gedung Graha Wiyata lantai 1, Rabu (5/8/2015).

Salah satu cara yang dilakukan untuk menguji UU Migas adalah melakukan penafsiran. Penafsiran ini sudah dilakukan saat menyidangkan permohonan atas judicial review terhadap UU Migas. Hakim-hakim MK menggunakan berbagai metode penafsiran hukum. Mereka memang tidak pernah menyebutkan jenis metode penafsiran yang pernah digunakan, akan tetapi dari pertimbangan yang dirumuskan dalam isi putusan, dapat dianalisis pendapat-pendapatnya. “ Metode penafsirannya adalah metode penafsiran ekstensif, prudensial, struktural, dan futuristis,” imbuhnya.

Putusan yang dijatuhkan oleh MK, lanjut dia, terhadap UU Migas membawa implikasi bersifat makro. Putusan hakim MK dalam permohonan judicial review terhadap UU Migas berimplikasi setidaknya pada tiga hal, pertama, hakim-hakim MK melalui haknya untuk menafsirkan dinilai menjadi ancaman produk legislatif karena mereka menggunakan metode penafsiran hukum secara variatif sesuai dengan pikirannya. Hak ini tentu saja berkaitan dengan kewenangan dalam membentuk atau membuat UU, yang bukan tidak mungkin  membawa dampak pada peran legislatif, yakni badan legislatif bisa saja mengalami lemah etos kerja akibat produknya tidak dihargai.

Kedua, pengembalian kedaulatan negara atau rekonstruksi otoritas negara dalam pengelolaan. BP Migas dengan payung hukum UU Migas dinilai telah menghilangkan atau mengabaikan kewenangan utama negara dalam mengelola migas, sehingga negara mengalami banyak kerugian.

“ Dan ketiga, pembaharuan hukum UU Migas. UU Migas yang sudah beberapa kali diajukan judicial review dan diputus oleh MK, mengindikasikan sebagai produk legislatif yang tidak sesuai dengan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, sehingga tidak selayaknya dipertahankan lagi,” tutup Anang. 


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id