Upaya Memodernisasi Jamu Indonesia

  • 07 Maret 2018
  • 5861

Minuman tradisional, jamu hingga saat ini masih eksis di Indonesia. Kios khusus jamu eksis di banyak kota, bukan hanya digemari karena statusnya sebagai minuman, tetapi juga untuk pengobatan. Menurut Ketua Prodi D3 Teknologi Industri Pertanian (TIP) Politeknik 17 Agustus 1945 Surabaya, Ir. Richardus Widodo, MM, upaya modernisasi jamu sebenarnya sudah dilakukan melalui Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dengan mendorong industri jamu mengembangkan produknya tidak sekadar jamu, tetapi menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka.

OHT yang diterjemahkan sebagai “scientific based herbal medicine” adalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam (dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral). OHT sudah terstandardisasi komposisinya dan sudah diujikan dan terbukti berkhasiat lewat penelitian pada hewan. Sedangkan Fitofarmaka diterjemahkan sebagai “clinical based herbal medicine” adalah obat tradisional dari bahan alam yang dapat disetarakan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang bukti ilmiah sampai uji klinik pada manusia dengan kriteria memenuhi syarat ilmiah, protokol uji yang telah disetujui, dilakukan oleh pelaksana yang kompeten, memenuhi prinsip etika, tempat pelaksanaan uji memenuhi syarat (Yudhawan, 2012).

“Tetapi industri jamu dalam prakteknya terjadi permasalahan, yaitu adanya upaya penyalahgunaan obat kimia atau sintesis yang dicampur dengan bahan herbal dari sebagian kalangan industri jamu,” kata Richardus saat ditemui warta17agustus.com.

Lebih lanjut dia menjelaskan, dengan mencampur bahan jamu dengan obat kimia karena permintaan konsumen agar jamu yang dikonsumsi memiliki khasiat yang baik, kuat dan cepat berefek (cespleng). Sedangkan khasiat obat herbal mayoritas tidak seperti obat-obatan konvensional yang notabene memiliki reaksi cepat. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, obat tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat, narkotika atau psikotropika, hewan atau tumbuhan yang dilindungi.

Menurut Richardus, masih banyak permasalahan lain yang dihadapi industri jamu di Indonesia. Berdasarkan hasil survei yang pernah dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UNTAG Surabaya di Jawa Timur tahun 2016 usaha rumah tangga jamu tradisional sebagian besar masih dikerjakan secara manual dan sangat sederhana, sehingga menimbulkan beberapa permasalahan.

‘’Permasalahan yang dimaksud seperti manajemen usaha yang dikelola apa adanya belum ada pencatatan yang runtut dan teratur; pemasaran cenderung hanya menunggu pelanggan datang, menitipkan ke warung-warung dan dijajakan keliling kampung; dari segi manajemen keuangan belum ada pemisahan antara uang usaha dengan uang pribadi; proses produksi dilakukan dengan manual; pembuatan produk jamu yang berupa serbuk instan dilakukan dengan pengaduk manual, sehingga kapasitas produksinya sangat rendah; dan kemasan juga yang digunakan saat ini kurang menarik,” ujarnya.

Dari permasalahan tersebut, kata Richardus, LPPM UNTAG Surabaya kemudian menawarkan diri untuk memberikan pelatihan-pelatihan manajemen pengelolaan usaha kecil dan keuangan sederhana, pendampingan merancang pengemasan produk (packaging) yang lebih menarik dan meningkatkan daya awet produk, memberikan hibah teknologi tepat guna sesuai kebutuhan dan dibantu stakeholder lain, termasuk Kemenristekdikti.

“Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan maupun Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) dan perguruan tinggi terkait jamu ini ditujukan agar jamu bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan menjadi tamu kehormatan di negara lain. Diharapkan di masa mendatang jamu bisa menjadi pilihan utama untuk terapi penyakit-penyakit yang umum ada di masyarakat, termasuk penyakit degeneratif yang mengemuka saat ini,” tutupnya.


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id