Prof Teguh, Bukti Nyata Ketekunan Mengalahkan Waktu

  • 27 Mei 2025
  • 135

Di balik senyum tenangnya, Prof. Dr. Teguh Priyo Sadono, M.Si., menyimpan kisah panjang tentang ketekunan, kesabaran, dan semangat pantang menyerah. Lahir dari keluarga sederhana di Kota Madiun, siapa sangka ia akan menutup karier akademiknya dengan gelar tertinggi dalam dunia perguruan tinggi, yaitu Guru Besar. Gelar itu ia raih hanya sebelas hari sebelum memasuki masa pensiun.


Teguh lahir pada 27 Desember 1959, tumbuh dalam keluarga yang dilanda guncangan ekonomi. Ayahnya mengalami kebangkrutan akibat perubahan sistem ekonomi nasional di masa Orde Baru. Sang ibulah, seorang guru sekolah dasar, yang kemudian menjadi tulang punggung keluarga. Dari ibunya, Teguh belajar nilai pendidikan, ketekunan, dan arti perjuangan tanpa pamrih.


Sejak kecil, ia terbiasa hidup dalam keterbatasan. Bersekolah di SD Sleko B Madiun, lalu SMPN 2 Madiun dan SMAN 3 Madiun, Teguh membantu ekonomi keluarga dengan berdagang ayam dan kedelai di depan rumah mereka yang berhadapan langsung dengan pasar tradisional. Dari sedikit demi sedikit hasil jualannya, ia menabung untuk mewujudkan cita-cita kuliah, impian yang saat itu belum tentu dapat dijangkau semua anak muda.


Pada 1979 menjadi titik awal lompatan besar. Ia diterima di Jurusan Ilmu Publisistik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang kini dikenal sebagai Ilmu Komunikasi. Namun jalan akademiknya tidak mulus. Saat itu, sistem pendidikan masih terbagi dua, yaitu sarjana muda dan sarjana penuh. Sambil bekerja, ia meraih gelar sarjana muda pada 1983 dan sarjana penuh dua tahun kemudian pada tahun 1985.


Setelah lulus, Teguh meniti karier jurnalistik di Harian Republik, lalu Bali Post. Namun, menjelang pernikahan, ia memilih berpindah jalur. Dunia pendidikan dan birokrasi kemudian menjadi medan pengabdiannya yang baru. Ia dipercaya sebagai staf ahli di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Pusat Jakarta. 


Seiring itu, ia juga mulai aktif mengajar di sejumlah perguruan tinggi swasta, antara lain Universitas Bunda Mulia dan Universitas Persada Indonesia (UPI Y.A.I) di Jakarta, serta terlibat dalam penelitian di Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Ambarrukmo Yogyakarta.


Ambisinya dalam bidang akademik tak pernah surut. Di akhir 1990-an, ia meraih gelar magister dari Universitas Padjadjaran Bandung. Kemudian pada 2010, ia menyelesaikan program doktoralnya di Universitas Airlangga Surabaya. 


Disertasinya mengupas bagaimana media membingkai tragedi Lumpur Lapindo di Sidoarjo, sebuah kajian kritis terhadap konstruksi opini publik yang kala itu berusaha menggiring persepsi bahwa bencana tersebut adalah peristiwa alam, bukan kesalahan manusia. Penelitiannya menjadi kontribusi penting dalam ranah komunikasi politik dan media.


Tahun 2020, Teguh memulai babak baru di Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya. Di kampus ini, ia bukan hanya menjadi pengajar, tetapi juga penggagas lahirnya Program Studi Magister Ilmu Komunikasi (Mikom), dan dipercaya sebagai Ketua Prodi sejak Mikom resmi berdiri pada 2022.


Di balik kontribusinya yang besar, ada satu hal yang tertunda, pengajuan jabatan fungsional Guru Besar. Meskipun angka kredit sudah lama terkumpul, lingkungan institusi sebelumnya tidak memberikan ruang sistematis untuk mendorong pengajuan tersebut. Baru saat bergabung dengan Untag Surabaya, Teguh mulai merapikan kembali berkas-berkas pengajuan dari awal.


Selama empat tahun, ia membangun ulang portofolio, menulis buku, aktif mengajar, dan giat meneliti. Tapi jalan menuju Guru Besar tidak mudah. Ketika berkas akhirnya sampai di pusat, pengajuan itu ditolak karena kekurangan angka kredit. Situasi semakin rumit ketika namanya keluar dari daftar dosen yang eligible karena usia yang mendekati pensiun. Ia pun mulai menyiapkan diri untuk benar-benar berhenti.


Namun takdir punya rencana lain. Dalam waktu satu minggu, namanya kembali masuk dalam daftar eligible. Ia bergerak cepat, melengkapi semua dokumen. Dan akhirnya, pada 16 Desember 2024, hanya sebelas hari sebelum tanggal pensiunnya, SK Guru Besar resmi diterbitkan oleh Kemendikbudristek. Masa pensiunnya dibatalkan. Teguh pun resmi menyandang gelar Profesor dan dikukuhkan sebagai Guru Besar Untag Surabaya pada 11 Februari 2025.


Kini, Prof. Teguh telah menetap di Surabaya bersama istri tercinta. Mereka dikaruniai tiga anak dan satu cucu. Ia tak lagi harus bolak-balik Jakarta–Surabaya seperti dahulu, ketika selama lebih dari 10 tahun ia menempuh perjalanan demi tugas akademik.


Perjalanan panjang Prof. Teguh menjadi pengingat bahwa pencapaian besar jarang lahir dari proses yang serba cepat. Ia membuktikan bahwa dedikasi yang konsisten, meski tak selalu mendapat sorotan, akan menemukan jalannya sendiri menuju pengakuan. Baginya, menjadi dosen bukan semata soal mentransfer pengetahuan, melainkan membentuk manusia dalam menanamkan karakter, membangun daya pikir kritis, dan menyertai mahasiswa dalam menemukan jati diri serta arah hidup mereka.


Ketekunannya menjadi pesan kuat bagi para akademisi muda, bahwa karier akademik bukanlah soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling teguh menjaga langkah. Sementara bagi mahasiswa, ia memberi teladan bahwa belajar bukan sekadar menghafal, melainkan keberanian untuk berpikir mandiri di tengah banjir informasi yang serba instan.


Prof. Teguh adalah bukti bahwa waktu tak pernah menjadi penghalang bagi mereka yang setia menapaki jalan pengabdian. Dalam diam dan kesederhanaannya, ia telah menorehkan jejak panjang, bukan hanya dalam lembaran akademik, tetapi juga dalam hati mereka yang pernah ia temui di ruang-ruang kelas. (Boby)


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

\