Ketegangan dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok terus memicu ketidakstabilan di pasar keuangan global. Kebijakan saling balas tarif antara dua raksasa ekonomi dunia itu bukan hanya berdampak pada mereka sendiri, tetapi juga menyeret negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ke dalam pusaran ketidakpastian.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dikutip dari CNN Indonesia, menyebut bahwa aliran modal asing mulai keluar dari pasar negara berkembang. Investor global kini beralih ke aset yang dianggap lebih aman seperti emas, pasar Eropa, dan Jepang. Akibatnya, nilai tukar sejumlah mata uang, termasuk rupiah, ikut tertekan.
Perry juga menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 3,2 persen menjadi 2,9 persen karena memburuknya fragmentasi ekonomi dunia.
Menanggapi kondisi ini, Fitriya Wati, S.Pd., Guru Ekonomi SMA 17 Agustus 1945 (SMATAG) Surabaya, menilai bahwa Indonesia cukup terdampak karena masih bergantung pada hubungan dagang dengan Amerika Serikat dan Tiongkok.
“Kenaikan tarif dari kedua negara itu menyebabkan penurunan ekspor Indonesia. Di sisi lain, kita juga masih mengimpor banyak bahan baku dari mereka, sehingga kegiatan produksi terganggu,” jelas Fitriya (5/5/25)
Ia menambahkan, pelemahan rupiah juga menyebabkan banyak investor menarik dananya dari Indonesia dan memilih instrument yang lebih stabil.
“Akhir-akhir ini kita bisa lihat masyarakat dan investor cenderung membeli logam mulia sebagai alternatif investasi,” imbuh Guru Ekonomi itu
Fitriya juga menyoroti arus keluar investasi asing berdampak langsung pada sektor produksi nasional.
“Banyak industri di Indonesia yang selama ini mendapatkan suntikan modal dari luar negeri kini mengalami penurunan kapasitas produksi. Jika kegiatan produksi melambat, maka pertumbuhan ekonomi juga akan ikut terganggu,” tambahnya
Melihat situasi ini, Fitriya menekankan pentingnya Indonesia memperkuat fondasi ekonomi dalam negeri. Ia mendorong masyarakat agar tidak panik, namun tetap waspada dan cermat dalam menghadapi perubahan global. Salah satu langkah strategis yang bisa diambil menurutnya adalah memperluas kerja sama dagang ke negara-negara lain seperti Australia dan kawasan Eropa.
“Masyarakat sebaiknya mulai mengutamakan produk lokal dan lebih bijak dalam pengeluaran. Diversifikasi pasar juga penting agar kita tidak terlalu bergantung pada dua negara besar seperti AS dan Tiongkok,” ujarnya
Tak kalah penting, kata Fitriya, adalah peran generasi muda. Ia berharap mereka menjadi pelopor dalam mencintai dan mempromosikan produk dalam negeri.
“Generasi muda jangan mudah panik. Mereka harus bisa mengelola keuangan dengan bijak, mencintai produk lokal, dan mendukung perekonomian nasional melalui langkah-langkah kecil yang berdampak besar,” tutup Fitriya
Di tengah gejolak global yang sulit diprediksi, upaya kolektif antara pemerintah, pelaku ekonomi, dan masyarakat menjadi kunci utama menjaga ketahanan ekonomi Indonesia. (Gisela)