Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Ditetapkannya tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS) oleh Pemerintah melalui Keppres RI Nomor 316 Tahun 1959, merupakan wujud nyata kepedulian Pemerintah akan pentingnya pendidikan di Negeri ini. Peringatan Hardiknas tidak semata – mata dimaksudkan untuk mengenang hari kelahiran Ki Hajar Dewantara selaku Bapak Perintis Pendidikan Nasional, namun lebih pada momentum untuk kembali menumbuhkan rasa patriotisme dan nasionalisme pada seluruh insan pendidik.
Menanggapi hal tersebut Dr. Achluddin Ibnu Rochim, Sh., M.Si, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untag Surabaya, pada warta17agustus, (02/025/19), mengatakan bahwa visi misi pendidikan Indonesia sebagian masih sesuai dengan ajaran Ki Hajar Dewantara, tetapi ada sebagian yang melampaui, akhirnya kebablasan dan lupa dengan apa yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara. Contoh, penerapan dari 3 pokok ajaran Ki Hajar Dewantara yaitu Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani dirasa masih belum maksimal diterapkan.
‘’Kita sebagai tenaga pendidik harus bisa menjelaskan apa itu yang dimaksud dengan In Ngarso Sung Tuladha, artinya adalah manakala memimpin atau sebagai perintis dan pioner, seseorang harus bisa memberikan contoh yang positif. Kemudian Ing Madya Mangun Karsa dengan maksud pada saat diri kita berada di tengah – tengah Masyarakat harus bisa mengkonstruksi, membangun motif atau kemauan – kemauan dari Masyarakat tersebut, begitupun saat mendidik kita harus bisa membangun kemauan – kemauan dari anak didik kita. Yang terakhir Tut Wuri Handayani, yaitu pada saat kita dibelakang kita harus membangun kekuatan, seperti memberikan logistik, memberikan amunisi, memberikan spirit atau dorongan – dorongan agar masyarakat lebih maju,’’ jelasnya.
Lebih lanjut, pria yang akrab disapa Pak Didin tersebut, menerangkan sebagai tenaga pendidik di Indonesia, baik itu Guru, Dosen ataupun lainnya, harus bisa membedakan apa yang dimaksud dengan science, kaweruh dan ngelmu. Karena jika bisa membedakan 3 istilah tersebut, maka sistem pendidikan Indonesia akan kuat dengan karakter yang benar – benar dimiliki oleh bangsa.
‘’Kaweruh itu artinya adalah pengetahuan atau knowledge, sedangkan diantara serpihan – serpihan pengetahuan ini lah yang dibangun menjadi science atau ilmu pengetahuan. Sementara di Nusantara kaweruh itu derajatnya paling rendah karena diatasnya masih ada ngelmu. Ngelmu sendiri adalah kaweruh yang dihayati oleh manusianya, lalu dijalankan dengan amalan yang bener – bener dan sungguh – sungguh. Jadi bukan hanya tahu, tapi juga mengerti sekaligus melaksanakan pengetahuan dan pangertennya, itulah yang disebut ngelmu. Barang siapa punya ilmu tinggi tapi tidak diamalkan maka orang itu tidak layak disebut ngelmu, dia hanya kaweruh,’’ paparnya.
Pria kelahiran Lamongan itu juga mengatakan bahwa Untag Surabaya ini masih mempunyai harapan besar. Dengan adanya beberapa mata kuliah yang menjadi ‘’semacam obat’’ untuk mempertahankan jiwa dan karakter bangsa Indonesia.
‘’Saya masih mempunyai harapan besar. Di Untag Surabaya ini ada beberapa mata kuliah untuk mempertahankan jiwa dan karakter bangsa Indonesia, contohnya mata kuliah Pancasila, mata kuliah Agama, ilmu sosial budaya dasar, dan kewarganegaraan. Mata kuliah – mata kuliah inilah yang kita harapkan menjadi penawar dari hilangnya jiwa cinta tanah air (patriotisme) dan jiwa bela Negara (nasionalisme). Sehingga saya berharap, nantinya semakin lama semakin tebal matkul ini diajarkan supaya kita menjadi manusia yang seimbang dan tetep menjadi manusia Nusatara,’’ tutupnya.
Reporter : MKM
Editor : LA_unda