Memaknai Hari Jumat

  • 27 Oktober 2017
  • 5991

Hari Jum’at adalah hari yang utama bagi umat Islam, bahkan mendapat posisi mulia dengan menjadi nama sebuah surat dalam Al-Qur’an, yakni surah Al-Jum’ah. Surat ini salah satu titik beratnya, selain menyebutkan tentang perihal aqidah dan etika terhadap kitab yang diturunkan Tuhan, juga menyebutkan tentang hal yang perlu dilakukan oleh umat Islam pada hari Jum’at. “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian dipanggil untuk mendatangi shalat Jum’at maka bersegeralah mengingat Allah (shalat) dan tinggalkanlah perdagangan. Hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui”.

Dalam kitab-kitab hadits banyak disebutkan mengenai keutamaan hari Jum’at, dan di antara hadits yang paling masyhur dan terkemuka sebagai dasar keutamaan hari Jum’at adalah “Hari terbaik di mana matahari terbit adalah hari Jum’at. Pada hari itu Nabi Adam diciptakan, dimasukkan ke dalam surga, serta dikeluarkan darinya”. (HR. Muslim). Selain itu, banyak hal yan dianjurkan nabi Muhammad, baik dalam rangka menyambut shalat Jum’at maupun dalam hari Jum’at itu sendiri.

Shalat Jum’at adalah ibadah yang sangat ditekankan oleh nabi Muhammad, mengingat banyak hadits-hadits yang bermakna larangan untuk meninggalkan ibadah Jum’at. Dalam menyambut ibadah tersebut, seluruh tindakan perdagangan, secara fiqih haram untuk dilakukan. Kemudian terdapat anjuran untuk mandi terlebih dahulu, memakai pakaian yang bagus, memakai wewangian, kemudian bersegera menuju masjid. Syarat sahnya shalat Jum’at adalah didahului khutbah, dan menurut ulama Syafi’iyyah, jamaah harus terdiri minimal 40 orang. Khutbah dan shalat Jum’at hendaknya lebih dipersingkat, sehingga orang yang bekerja bisa segera kembali menuju akivitasnya kembali.

Ketika seseorang telah disibukkan dengan urusan dunia, yang oleh Al Qur’an disebut dengan al-bai’, maka secara psikologis orang yang telah sibuk dengan dirinya sendiri akan mengabaikan hubungannya dengan orang lain. Dia akan mementingkan keuntungannya sendiri dan akan berusaha menjegal orang lain. Al-bai’ memiliki cakupan makna yang luas. Maka segala urusan duniawi, yang berkaitan dengan “memberikan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu”, dapat dikategorikan sebagai al-bai’. Hal ini hendaknya sejenak dialihkan dari perhatian, dan segera bergegas menuju shalat Jum’at.

Shalat Jum’at memiliki implikasi yang luas terhadap sistem sosial. Melalui perintah untuk meninggalkan pekerjaan, kemudian hendaknya seseorang membersihkan dirinya, menampakkan dirinya dengan persona terbaik. Karena akan berjumpa dengan orang banyak di masjid. Inilah makna jama’ah pada shalat Jum’at. Salah satu bentuk penghargaan ketika seseorang berjumpa dengan orang lain, adalah menjumpainya dengan rapi. Penampilan yag rapi dalam dunia bisnis memegang peranan penting, sehingga seseorang akan lebih percaya untuk bekerja sama. Bagaimanapun anjuran sunnah nabi yang menekankan pada budaya gamis, surban, tentunya itu memiliki makna lain. Hanya saja, perjumpaan dengan orang banyak di masjid itulah yang diharapkan membentuk suatu komunitas yang komunikatif dalam banyak hal. Suasana kondusif masyarakat bisa dibentuk dengan pelaksanaan shalat jama’ah, karena banyaknya interaksi publik. Patut diingat bahwa hendaknya urusan dunia (al-bai’) dilupakan ketika sudah mulai berdiam dan berada dalam masjid, terutama proses pelaksanaan shalat Jum’at. 

Kemudian khutbah Jum’at memegang peranan penting dalam proses instropeksi umat, untuk mengajak kembali ke satu makna yang amat penting dalam seluruh unsur proses kehidupan: rasa taqwa dan tanggung jawab kepada Tuhan. Inilah makna penting yang perlu disadarkan agar seluruh umat Islam dari berbagai golongan dan kalangan dapat bersatu, bekerja sama dalam rasa tanggung jawab yang luhur. Jika memang demikian halnya, maka seorang khatib mestinya adalah orang yang memiliki kapasitas keilmuan yang mantap dan kebijaksanaan dalam menyikapi perbedaan umat Islam serta mengajak mereka pada kesatuan umat, dan bangsa, bukannya mengajak pada permusuhan dan pemutlakan suatu golongan. Begitu selesai dari shalat Jum’at, maka orang muslim bisa kembali menuju aktivitasnya, dan ketika di masjid mereka menemui banyak orang, pastilah akan banyak terjadi komunikasi 

Sebagai kesimpulan, kembali ke makna dari kata Jum’ah itu sendiri, yang berakar dari kata berkumpul, hendaknya setiap orang yang memiliki pemahaman hal ini untuk lebih memaknai hari Jum’at sebagai hari yang diutamakan dalam agama Islam, bukan hanya sekedar ritus belaka di tiap minggunya, serta berharap terbentuknya negeri yang makmur dan dinaungi rahmat Tuhan

Sumber: http://www.nu.or.id/post/read/54414/memaknai-hari-jumat.


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id