Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Banyaknya isu perceraian dan perselingkuhan di dunia maya mengakibatkan perjanjian pra-nikah menjadi topik yang hangat kerap diperdebatkan. Prof. Dr. Slamet Suhartono, S.H., M.H., CMC, Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untag Surabaya menanggapi hal tersebut.
Prof. Slamet percaya bahwa pasangan harus mempertimbangkan dengan hati-hati untuk membuat perjanjian pernikahan. Tentu, dengan segala konsekuensi hukumnya.
“Ini bukan soal selera atau keinginan, tetapi sistem hukum yang akan memberikan hasil hukum,” ujarnya, (9/5)
Keberadaan perjanjian ini sering dipandang dengan kecurigaan di antara pasangan. Namun, Guru Besar Fakultas Hukum berpendapat bahwa perjanjian pernikahan adalah keputusan berdasarkan konsekuensi pribadi masing-masing.
“Jika kepercayaan atau kecurigaan menjadi dasar untuk melakukan perjanjian nikah, maka hakikat pernikahan yang berlandaskan dimensi hukum, moral, dan agama akan menjadi absurd dan berat sebelah,” sebut dosen kelahiran Pacitan tersebut.
Prof Slamet juga menyoroti adanya praktik yang tidak adil. Dengan kata lain, pengertian perjanjian pranikah (prenuptial agreement) dan perjanjian yang dibuat selama perkawinan (postnuptial agreement).
“Perlu disesuaikan, oleh karena itu, sedikit perhatian diberikan pada keabsahan konteks hukum yang melingkupinya untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif dan objektif tentang fakta-fakta empiris,” jelasnya.
Pada dasarnya, kedua perjanjian itu mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan harta perkawinan dan akibat hukumnya. Selain itu, juga dapat menambahkan poin- poiun lain. Jika tidak bertentangan dengan isi UU No. 1 tahun 1974 Pasal 29 Tentang Perkawinan.
Dalam UU Perkawinan, terdapat ayat yang menyatakan adanya ruang gerak terhadap pengaturan harta benda sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
“Frasa inilah yang membuka ruang adanya perjanjian perkawinan, yang pada praktiknya kemudian ada istilah perjanjian pra nikah. Untuk menindaklanjuti maksud para pihak tersebut maka ada aturan lebih lanjut dalam Bab 5 Perjanjian Perkawinan,” jelasnya soal perjanjian pra-nikah.
Sesuai Amandemen Putusan MK, vide Pasal 29 (1), Prof Slamet menjelaskan bahwa seseorang dapat melakukan perjanjian ini sebelum, pada saat, atau selama perkawinan berlangsung. Sementara formalitasnya melalui perjanjian tertulis. Pegawai pencatat perkawinan atau notaris mengesahkan perjanjian tersebut, yang kemudian isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga terkait.
“Surat dengan tulisan tangan, meterai dan tanda tangan tidak memenuhi syarat formil maupun materiil, dan itu sekedar mengikat para pihak. Bahkan, tulisan mengenai janji tidak akan selingkuh itu menjadi hal yang menggelikan bagi ahli hukum. Karena hakikat perkawinan ialah ikatan lahir batin pria dan wanita sebagai suami istri dalam membentuk keluarga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga tanpa ada surat tersebut maka komitmen akan kesetiaan dan tanggung jawab terhadap keluarga dan rumah tangga bersifat mutlak,” jelasnya perihal perjanjian pra-nikah (Nabila)