Hukum Seorang Perempuan Berobat Kepada Terapis Laki Laki Dalam Islam

  • 26 April 2019
  • REDAKSI
  • 9745

Saat ini banyak sekali tenaga terapis, baik dari kalangan laki – laki atau perempuan. Dalam Islam, apa hukumnya ketika seorang perempuan atau ibu yang melakukan terapi totok punggung kepada terapis laki – laki ? Yang mana pada kegiatan tersebut memungkinkan terapis laki – laki memegang punggung perempuan tersebut, walaupun dengan menggunakan sarung tangan. Dibawah ini adalah penjelasan yang telah terangkum dari beberapa hadist.

Berobat adalah upaya masyru’ dan didorong oleh syariat yang mulia. Sebagaimana hal ini sesuai dengan sabda Nabi, ‘’Sesungguhnya Allah Ta’ala menurunkan penyakit dan obatnya, dan Dia jadikan setiap penyakit pasti ada obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan yang haram’’ – (HR. Abu Daud No. 3876)

Kita sebagai manusia, pasti pernah mengalami keluhan – keluhan, sakit dan lain sebagainya. Berobat, sebisa mungkin dengan menggunakan obat yang halal dan suci, serta dilakukan dengan cara yang benar dan dilakukan oleh orang yang tepat, agar selamat secara medis dan syariat. Jika pasiennya laki – laki alangkah lebih baiknya dokter atau tenaga yang menangani juga laki – laki, dan jika pasiennya adalah perempuan, maka alangkah lebih baiknya dokter atau yang menangani juga seorang perempuan.

Lalu bagaimana jika dalam keadaan tidak ideal ? Dalam keadaan masyarakat yang normal dan wajar, saat ini bisa dikatakan tidak sulit untuk mencari dokter laki – laki atau perempuan dengan spesialisasinya masing – masing. Sehingga kita relatif mudah untuk berobat dengan mekanisme yang sesuai syariat. Tapi, keadaan seperti itu tidak selalu sama pada masing – masing daerah. Ada daerah minus dokter kandungan muslimah, bidan muslimah, atau semisalnya, yang ada adalah dokter laki – laki. Padahal pasien itu bisa laki – laki bisa juga perempuan, dan kesehatan serta kehidupan mereka harus sama – sama dijaga.

Dalam keadaan seperti itu tidak masalah jika seorang perempuan berobat ke dokter laki – laki atau sebaliknya jika memang dokter laki – laki yang minim, selama adab – adabnya terjaga. Pada sisi lain, dalam dunia pengobatan, di dalamnya sangat memungkinkan terjadi persentuhan langsung antara dokter dan pasiennya, karena itulah cara untuk mendeteksi dan mendiagnosa penyakit.

Pembolehan ini mengingat beberapa fakta sejarah dan kaidah dibawah ini. Dalam kitab Shahih Al Bukhari terdapat sebuah bab Mudawatin Nisa’ Al Jarha fil Ghazwi yaitu pengobatan perempuan untuk yang terluka dalam peperangan, dan bab Raddin Nisa’ Al Jarha wal Qatla Ilal Madinah perempuan memulangkan pasukan terluka dan terbunuh ke Madinah.

Beberapa kaidah fiqih : ‘’Kesulitan membawa pada kemudahan’’ (Imam Ibnu Nujaim, Al Asybah wan Nazhair, Hal. 75. 1400H-1980M. Darul Kutub Al ‘ilmiyah)

Atau seperti yang dikatakan Imam Tajuddin As Subki : ‘’Kesulitan membawa pada kemudahan, dan jika anda mau, anda bisa katakan: jika keadaan sempit maka membawa kelapangan’’ (Imam Tajuddin As Subki, Al Asybah wan Nazhair, 1/61. Cet. 1, 1411H-1991M. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Kaidah ini berdasarkan firman Allah ï·»: ‘’Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.’’ (QS. Al Baqarah : 185)

Ayat lainnya: ‘’Allah memberikan keringanan kepadamu dan manusia dijadikan bersifat lemah.’’ (QS. An Nisa’: 28)

Ada juga yang disebut dalam hadits, Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ï·º bersabda: ‘’Permudahlah dan jangan persulit, berikanlah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari’’ (HR. Al Bukhari No. 69, Muslim No. 1732)

Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha: ‘’Sesungguhnya Rasulullah jika dihadapkan dua perkara, dia akan memilih yang lebih ringan, selama tidak berdosa, jika ternyata mengandung dosa maka dia adalah orang yang paling jauh darinya.’’ (HR. Al Bukhari 3560, 6126, 6786, Muslim No. 2327)

Maka, keadaan jika sulit, sempit, payah, termasuk dalam berobat mencari yang ‘’seharusnya’’ maka tidak mengapa, dan membuatnya lapang untuk berobat dengan dokter yang ada, walau dia lawan jenis. Sebab, jika tidak demikian maka itu membuatnya jatuh dalam dharar atau kerusakan yang lebih besar, dan itu justru terlarang.

Sebagaimana kaidah lain: ‘’Adh Dhararu Yuzaal – kerusakan mesti dihilangkan’’ (Imam As Suyuthi, Syaikh Zakariya bin Ghulam Qadir Al Bakistani, Min Ushul Al Fiqh ‘Ala Manhaj Ahlil Hadits, Hal. 190)

Dalil kaidah ini adalah: ‘’Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.’’ (QS. Al Baqarah (2): 195)

Dan hadits Nabi ï·º: ‘’Jangan membuat kerusakan dan jangan menjadi rusak.’’ (HR. Ath Thabarani dalam Al Awsath No. 268, Asy Syafi’i dalam Musnadnya No. 1096, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah No. 1300)

Hanya saja ada beberapa adab yang mesti dijaga seperti memakai pakaian yang sesuai syariat.

Jika hendak membuka bagian tubuh yang sakit, dan itu ternyata aurat, maka bukalah sesuai kebutuhan pemeriksaan, sesuai kaidah: ‘’Kondisi darurat ditakar sesuai kadar kebutuhannya,’’ (Syaikh Shalih bin Muhammad bin Hasan Al Asmary, Majmu’ah Al Qawaid Al Bahiyyah, Hal. 60. Cet.1, 1420H-2000M. Darush Shami’iy)

Jika mungkin, dokternya menggunakan sarung tangan, maka hendaknya ditemani oleh orang lain, baik mahram, atau ajnabi yang terpercaya. Demikian. Wallahu A’lam.

Sumber : https://www.dakwatuna.com/2016/03/01/79336/79336/#axzz5m9Up6ldK

Reporter : MKM

Editor     : LA_unda


https://untag-sby.ac.id
https://www.untag-sby.ac.id

REDAKSI