Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah merancang empat prioritas untuk dituntaskan di tahun 2018. Salah satunya memberikan perhatian khusus dan menuntaskan pelbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Ini berarti, Komnas HAM akan memprioritaskan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu pada tahun 2018 (Ramadhan Rizki Saputra, 2017).
Pada materi muatan yang sama dinyatakan, bahwa sebanyak 9 kasus pelanggaran HAM berat yang sudah selesai diselidiki telah diserahkan kepada Jaksa Agung. Namun, kasus tersebut belum ditindaklanjuti. Kasus-kasus tersebut adalah peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, peristiwa Talangsari 1989 dan penghilangan orang secara paksa 1997-1998, peristiwa kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti-Semanggi I dan II, peristiwa Wasior-Wamena 2003, peristiwa Jambu Keupok di Aceh 2003 dan peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999 (Friski Riana, 2018).
Tantangan kedua ialah permasalahan HAM di Papua, dan tantangan terakhir adalah sengketa agraria. Masalah hilangnya dan terampasnya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya banyak terjadi dalam kasus sengketa agraria. Bahkan, sengketa tersebut dari tahun ke tahun meningkat dari sisi jumlah, skala, maupun intensitasnya.
Kasus Munir
Sudah 13 tahun, Munir, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), meninggal oleh arsenic dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam. Namun, dalang pelaku pembunuhan Munir belum juga terungkap hingga saat ini. Ironinya, dokumen asli setebal 56 halaman hasil investigasi Tim Pencari Fakta (TPF) Kematian Munir, justru dinyatakan hilang. Padahal keterlibatan aktor pembunuh Munir di lembaga negara dipaparkan di dalamnya. Sampai kemudian pada 11 Oktober 2016, keputusan Komisi Informasi Pusat (KIP) memutuskan: mewajibkan pemerintah membuka hasil kinerja TPF ke publik! Dengan demikian, ini menjadi momentum pemerintahan Jokowi mengungkap kasus Munir kembali.
Pada tanggal 25 Oktober 2016, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)—yang membentuk TPF itu pada 23 Desember 2004—secara tegas menyatakan, pembunuhan Munir adalah kejahatan serius. Inilah pernyataan SBY pada saat pemerintahannya, meletakkan legal status kasus Munir ini pada posisi yang sangat tidak jelas. Tidak jelas karena sejak Munir tewas dalam penerbangan menuju Amsterdam, 17 September 2004, kasus ini tetap diselimuti misteri. Padahal pengusutan, penyelidikan, penyidikan, bahkan pengadilan telah digelar. Dimana Polycarpus Budihari kini sudah bebas, karena ia bukan pembunuhnya, dan Muchdi Pr juga bebas. Dua orang yang awalnya dituduh sebagai pelakunya. Lalu siapa yang paling bertanggung jawab atas kasus ini? Juga siapa pula yang menghilangkan dokumen asli TPF itu? Semuanya masih menjadi teka-teki sampai SBY diganti Jokowi. Termasuk juga, apakah kasus Munir termasuk pelanggaran HAM berat atau tidak?
Tugas Berat Jokowi
Kini Jokowi mempunyai tugas berat menuntaskan kasus Munir dengan adanya keputusan KIP Nomor 025/IV/KIP-PS-A/2016 tanggal 10 Oktober 2016, yang menyatakan, dokumen TPF Munir yang sudah diserahkan ke Presiden RI pada tahun 2005, merupakan informasi publik dan harus diumumkan kepada masyarakat karena bukan dokumen rahasia. Ketidakpatuhan pemerintah dapat mengarah pada pelanggaran pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 52, 53, dan 55 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Mengapa dikatakan Jokowi mempunyai tugas berat? Karena, Jokowi harus menemukan dokumen otentik TPF yang dinyatakan hilang itu. Setelah ditemukan, Jokowi wajib mengumumkan isinya kepada publik lalu mengambil tindakan hukum kepada mereka yang tercantum namanya di dokumen TPF.
Kalau belajar dari pengalaman selama ini, tampaknya kasus Munir akan menjadi misteri sampai akhir zaman. Kasus pembunuhan wartawan Bernas Udin di Jogja, dan pahlawan buruh Marsinah di Mojokerto misalnya, tetap tak tersentuh sampai sekarang kendati perjuangan untuk itu juga tak pernah padam.
Preseden Buruk
Yang mengkhawatirkan kalau kasus ini tidak dituntaskan adalah, terciptanya preseden buruk. Bahwa setiap saat, setiap orang, dapat tewas terbunuh di negeri ini, pembunuhnya tetap bebas berkeliaran. Pertanyaannya, apakah negara ini sudah menjadi “Negara Rahasia†dengan rezim kerahasiaannya? Mengapa kerahasiaan itu selalu dipelihara? Mulai dari raibnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang menjadi titik balik beralihnya pemerintahan Sukarno ke Suharto, lalu peristiwa terbunuhnya Udin dan Marsinah itu. Serta banyak kasus serupa terjadi di tengah masyarakat.
Kini, terbunuhnya Munir menjadi misteri berkepanjangan. Sudah 13 tahun Munir tewas tetapi tak ada pembunuhnya. Jokowi sebagai Presiden harus menghentikan itu semua. Jokowi harus membuat hukum berpihak kepada korban, bukan pelaku. Jangan sampai dunia menyatakan Indonesia negara rahasia karena semua serba dirahasiakan. Meski kita sudah memiliki Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Di negeri ini terlalu banyak yang dirahasiakan oleh negara terhadap rakyatnya. Atas perintah UU KIP, Jokowi wajib menemukan dokumen TPF itu sekaligus menuntaskan kasus hukumnya. Kalau tidak, citra kita di mata internasional jatuh. Sebab Munir adalah pejuang HAM yang mendapat penghargaan internasional. Jangan sampai Jokowi malah memerosokkan negara kita menjadi negara rahasia. Karena kita semua menolak rezim kerahasiaan.*
*Penulis : Soetanto Soepiadhy Dosen Untag Surabaya dan Pendiri “Rumah Dedikasi†Soetanto Soepiadhy
Redaksi yang malang melintang di bidang jurnalisme