Portal Berita Online YPTA 1945 Surabaya
Undang unadang  No.  22 Th. 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota tidak langsung yang diputuskan DPR RI baru-baru ini sekitar 70% Masyarakat Indonesia tidak setuju dan rakyat merasa haknya dirampas, karena dianggap menciderai demokrasi dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 Th. 2014 yang dikeluarkan  oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY hanya lips service.
“Demokrasi langsung merupakan pilihan utama rakyat, perkara di  elit politik ada suatu pemikiran baru pemilihan dikembalikan ke forum DPRD sehingga kita mengalami distorsi,†kata J. Subekti, SH, MM, tenaga ahli DPRD Jawa Timur bidang hukum dan pemerintahan periode 2005-2014 yang juga sebagai bendahara Yayasan Perguruan  17 Agustus 1945 Surabaya
Undang-undang adalah produk politik DPR, artinya begitu selesai maka UU berfungsi untuk merekayasa sosial dan sebagai alat untuk mengontrol masyarakat. UU pilkada yang lama bertujuan merekayasa sosial agar setiap warga negera mengunakan haknya untuk menentukan siapa kepala daerah tetapi dengan adanya UU pilkada yang baru tersebut maka membalik ketentuan pilkada yang sudah ada yang dipergunakan untuk kepentingan politik yang dilakukan oleh politikus dalam merekayasa UU untuk target tertentu.
Ketika Indonesia masih konsisten kepada UUD’45, tugas MPR merupaka tempat kedaulatan rakyat, direvasi pasal itu juga maka pemilihan daerah melalui DPRD masing-masing. Kemudian ada perubahan, tugas MPR untuk memilih presiden hilang dan kepala daerah pun sama yaitu melalui pemilihan secara langsung. Tetapi sekarang ini terjadi kontradiktif presiden dipilih langsung sedangkan kepala daerah dipilih oleh DPRD, artinya aturan perundang-undangan di Indonesia terjadi kontradiksi.
J. Subekti mengatakan, demokrasi di Indonesia sekarang ini seperti Demokrasi Bonsai, sebenarnya DPR dan DPRD itu adalah lembaga politik yang berfungsi masing-masing partai politik menentukan konsep-konsepnya melalui wakilnya di DPR dan DPRD. Jadi penentuan arah kenegaraan tergantung dari usul masing-masing fraksi, tetapi sekarang fraksi-fraksi itu sebagian bergabung dalam koalisi. Sehingga suara koalisi yang menjadi determinan dan penentu. Artinya bukan lagi mewakili partai tetapi koalisi yang mewakili suara partai, Â dengan begitu kedaulatan partai diambil alih oleh koalisi.
Mengenai Perpu yang diterbitkan SBY untuk membatalkan UU Pilkada tidak langsung menuai banyak tanggapan dari masyarakat.
“UU pilkada yang sudah syahkan akan diambil langkah politik oleh presiden yang bernama Perpu. Kita pertanyakan apakah Perpu itu efisien. Pertama, Perpu itu hanya berlaku dalam keadaan yang memaksa tetapi sekarang keadaan tidak memaksa, kedua Perpu berlaku selama DPR belum melakukan sidang. Begitu DPR sidang maka Perpu itu akan ditimbang untuk disetujui atau ditolak, jika setujui maka Perpu berubah menjadi UU, jika ditolak maka Perpu tersebut tidak berlaku demi hukum atau dicabut. Perpu yang diterbitkan oleh SBY itu kemudian nanti pada waktu DPR sidang yang menghadapi bukan SBY tetapi Jokowi artinya pada awal bertugas Jokowi sudah berhadapkan dengan DPR untuk mempertahan Perpu yang dia sendiri bukan penciptanya,†tambah J. Subekti yang juga ketua Kesatuan Buruh Kebangsaan Indonesia (KBKI) Jawa Timur itu.
Menurut  J. Subekti jangan-jangan Perpu itu justru sebagai penghambat adanya upaya hukum untuk menggugat UU Pilkada melalui MK. Dengan adanya Perpu itu seolah-olah presiden berpihak pada rakyat agar rakyat tidak perlu ke MK. Padahal rakyat berkehendak menggugat ke MK. Apakah Perpu itu tidak hanya lips service supaya dianggap benar-benar membela rakyat. Jadi main siasat itu tidak baik dalam negera yang berdasar demokrasi pancasila.
Banyak orang pinter juga mengatakan Perpu itu hanya akal-akalan saja untuk menghambat rakyat menggugat ke MK.Â